RUANG PUBLIK DAN LEGITIMINASI KEKUASAAN

 


Ruang publik telah menjadi penanda bagi kekuasaan, dan oleh sebab itu, setiap penguasa berupaya mengku-kuhkan kekuasaannya dengan membangun berbagai ruang publik. Apa itu gedung-gedung, jembatan, jalan, pedestrian area, mall, pasar, kantor-kantor, museum, pustaka, sekolah, masjid, hotel, ataupun menorma-lisasi sungai-sungai. Dengan adanya ruang publik itu, orang-orang akan terus mengingatnya dan menjadi wadah memori kolektif. Sehingga dengan begitu, sejak dulu sampai kini, siapapun penguasa itu, berupaya untuk membangun ruang publik untuk melegitiminasi kekuasaan.

 

     Penguasa juga menjadikan ruang publik untuk membentuk politik kebudayaan, politik identitas, poli-tik kekuasaan, sehingga warga kota selalu menjadi tempat pertarungan ide-ide politik, identitas kelas, tidak lain untuk melanggengkan jalan kekuasaan pe-nguasa itu. Sebagai tempat pertarungan ide-ide politik, warga kota adalah pihak pertama yang menjadi kor-ban janji-janji politik dan bualan politikus. Dan memo-ri kolektif tidak sekedar mencatat masa lalu. Di sana ada emosi, kepedihan, kegembiraan, ataupun sebuah trauma yang panjang. Dan setiap tindak tanduk pe-nguasa akan dicatat oleh memori kolektif dengan tinta emas ataupun tinta merah. Maka tindak tanduk itu akan menjadi kebanggaan atau beban moral bagi anak keturunannya nanti.

 

     Selama penguasa menjadikan ruang publik sebagai politik kebudayaan dan identitas, maka di sana akan lahir berbagai kelompok. Apa itu kelompok pro pe-nguasa yang penjilat ataupun kelompok yang diam-diam lelah dengan penguasa. Politik kebudayaan de-ngan menggerakkan pelaku seni dan budaya ataupun politik identitas dengan menjadikan partai politik se-bagai kendaraan politik yang memakai atribut agama maka hal itu akan melahirkan preman-preman baru. Baik itu preman berjubah agama ataupun preman ber-baju kebudayaan. Sehingga dengan begitu, kekuasaan yang bermentalkan preman telah menjadi cerminan dan jiwa sebuah kota. Sebab sebesar dan semegah apa-pun ruang publik itu dibangun, ingatan manusia akan cepat lupa. Namun tidak dengan kepedihan dan peng-hianatan, ia akan terus tersimpan.   

 

     Sekarang ada perlunya juga kita menoleh untuk sesaat, melihat bagaimana kota ini didirikan dan diba-ngun sejak 17 Desember 1970. Ada Drs. Soetan Oes-man sebagai walikota pertama. Ia telah berupaya mele-takkan “pondasi dasar pemerintahan” kota ini dengan berbagai keadaan dengan minimnya anggaran dan pe-gawai. Namun gaung namanya telah tenggelam di da-lam perjalanan kota ini yang terus berkemas. Namanya tidak lebih dari nama sebuah jalan yang disematkan di tengah kota yang panjangnya hanya beberapa ratus meter saja, setelah itu tidak lagi bergema.

 

     Selanjutnya kita melihat pula walikota kedua, Drs. Masri MS, yang menanggung ujian berat pada masa kekuasaannya dengan adanya kebakaran dua kali di Pasar Payakumbuh pada tahun 1979 dan 1982. Maka dengan begitu, nyaris seluruh masa pemerintahannya dicurahkan untuk bisa membangun Pasar Payakum-buh ini kembali. Tidak terlalu banyak ruang publik yang dibangun pada masa walikota ini selain pem-bangunan kantor walikota di lokasi Plaza Rocky seka-rang (sebelumnya kantor walikota ngontrak di Ludang Parit Rantang) dan pembangunan objek wisata Ngalau Indah yang sebelumnya hanya berupa semak belukar, serta membangun ruang jalan lingkar baru.

 

     Walikota ketiga, Drs. Muzahar Muchtar, sangat ber-untung karena pada masa kekuasaannya Pasar Paya-kumbuh kembali dibangun pada tahun 1983 sampai 1985. Ia juga membangun ruang publik lainnya seperti Pasar Ibuh Barat dan Pasar Ibuh Timur, peremajaan gedung-gedung lama, dan pemasangan lampu-lampu merkuri di jalan-jalan utama kota ini. 

 

     Berikutnya kita lihat pula, Drs. Muchtiar Muchtar, sebagai walikota keempat. Pada masanya, tidak begitu banyak ruang publik yang dibangun selain memba-ngun GOR M. Yamin, rumah dinas walikota di Padang Tiakar (sebelumnya rumah dinas masih ngontrak), membangun jalan lingkar Kubu Gadang—Payolan-sek—Padang Tinggi, dan Tugu Pahlawan di Bukik Sibaluik. Namun walikota keempat ini telah mela-kukan gebrakan kebijakan dalam pengembangan sum-ber daya pegawainya dengan melakukan berbagai pembinaan personil, mutasi dan penyegaran, diskusi, pelatihan, dll. Maka dengan begitu, walikota Muchtiar Muchtar kurang populer di dalam memori kolektif warga kota karena minimnya pembangunan ruang publik. Namun walikota ini telah berhasil untuk per-tama kalinya menerima Piala Adipura sehingga kota ini dijuluki dengan nama Kota Batiah (Bersih, Aman, Tertib, Indah, Asri, Harmonis).

 

     Walikota kelima, Drs. Fahmi Rasyad, telah mencu-rahkan tenaga dan waktunya untuk membangun Jalan Lingkar Utara dan Jalan Lingkar Selatan sehingga di-stribusi ke daerah paling pinggir di kota ini terjang-kau dengan mudah dan merata. Setelah itu, walikota ini tidak sempat lagi mewujudkan mimpinya mendi-rikan landmark dan ruang terbuka hijau di pusat kota ini.

 

     Adapun walikota keenam, Dr. Darlis Ilyas, walikota yang penuh kontroversi dan walikota pertama yang dilengserkan oleh masyarakat sipil di Indonesia, ter-utama oleh pelajar. Ia hanya sempat menjabat 2 tahun  dan lalu di-impechment oleh DPRD yang dipimpin saat itu oleh Chin Star. Dua kali laporan pertanggung-jawabannya ditolak dan pada Maret 2002, ia diberhen-tikan oleh Menteri Dalam Negeri. 

 

     Semasa kekuasaan walikota Darlis ini, daerah lain di Sumbar ini hanya mampu menyerap anggaran tambahan ke pusat sekitar Rp.1,2 miliar, namun wali-kota Darlis mampu memperoleh tambahan anggaran pusat sebesar Rp.4,6 miliar. Sedangkan untuk angga-ran Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp.72 miliar. Pada tahun kedua (2002) jabatannya ia menerima DAU sebesar Rp.114 miliar dan 37 persennya digunakan untuk anggaran pendidikan. Maka dengan begitu, wa-likota ini telah membebaskan biaya BP3 (Badan Pem-bantu Penyelenggara Pendidikan) dari SD hingga SMA di Payakumbuh. Yang mana total biaya BP3 per tahun mencapai Rp.2,2 miliar, padahal setelah dievaluasi ter-nyata biaya pendidikan per tahun hanya Rp.590 juta. Penyimpangan dana pendidikan untuk BP3 ini setiap bulannya digunakan untuk membayar gaji ketua BP3 sebesar Rp.1,5 juta, gaji kepala sekolah Rp.1 juta, wakil kepala sekolah bervariasi antara Rp.900 ribu—Rp.750 ribu, sementara guru-guru yang mengajar hanya men-dapatkan Rp.40 ribu per bulan (lihat buku Pajacombo bagian 1). Karena langkah-langkah kebijakan yang di-ambil oleh Darlis Ilyas ini, ia akhirnya dilengserkan oleh kalangan pendidikan pada bulan Desember 2001 yang didemo oleh ribuan siswa dan guru di Payakum-buh yang diprovokasi oleh orang-orang yang menjadi politisi-politisi senior hari ini. Alasan demo tersebut adalah walikota telah mengganti kepala SMU 2 dan kepala SLTP 6 tanpa alasan yang jelas dan BP3 juga ikut dibubarkan oleh walikota.     

 

      Setelah Darlis Ilyas diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri maka Drs. Yulrizal Baharin, Msi, lang-sung ditunjuk sebagai pelaksana harian (Plh) oleh Gubernur Sumatera Barat. Dan pada tahun itu juga (2002), Capten H. Josrizal Zain terpilih menjadi walikota dengan wakilnya H. Benny Muchtar. Tapi apalah daya, baru setengah periode berjalan, wakilnya mengundurkan diri. Terpaksa pulalah walikota ini mengejar visi dan misinya seorang diri. Dalam periode ini, Josrizal Zain memiliki rencana menjadikan Paya-kumbuh sebagai kota agroindustri, kota perdagangan, dan kota wisata budaya, namun semua itu belumlah tercapai. Adapun ruang publik yang berhasil dikeluar-kan izin operasinya di saat itu adalah Sekolah Tinggi Teknik Payakumbuh (STTP). Di masa itu biaya berobat ke rumah sakit dan puskesmas sudah digratiskan. 

 

     Selanjutnya, pada tahun 2007, pemilihan walikota Payakumbuh dilakukan langsung oleh masyarakat melalui pilkada (pemilihan kepala daerah) dan Capten H. Josrizal Zain kembali menang yang berpasangan dengan Drs. Syamsul Bahri Dt. Bandaro Putiah. Pada masa itu, Payakumbuh telah dimekarkan menjadi 5 kecamatan (dimekarkannya Kecamatan Latina dan Ke-camatan Payakumbuh Selatan). Adapun ruang publik, pada 22 Maret 2010, peletakkan batu pertama Kampus Unand berhasil dilakukan. 

 

     Walikota kedelapan, H. Riza Falepi, ST., MT., yang berpasangan dengan Drs. Suwandel Muchtar dilantik pada 22 September 2012. Pada masa ini, ruang publik seperti menormalisasi Batang Agam sudah mulai dilakukan, perluasan jalan di Koto Nan Gadang (Jalan Sudirman) menjadi dua arah, dan pembangunan Pasar Padang Kaduduak yang hampir 10 tahun sampai seka-rang masih sepi dan tidak diminati oleh pedagang.

 

     Periode setelahnya, Riza Falepi kembali unggul da-lam pemilihan kepala daerah tahun 2017 yang berpa-sangan dengan Erwin Yunaz. Pada masa itu, ruang publik seperti gedung Balai Kota di Bunian, pedestrian area di pusat kota, Taman Batang Agam, Taman Olah-raga Bugar di Padang Kaduduak dan Taman Olahraga Bugar 2 di Tanjuang Pauh juga sudah direalisasikan. 

 

     Begitulah ruang publik dibangun dari masa ke masa. Penguasa hari ini dengan penguasa setelahnya berusaha untuk membangun ruang publik baru untuk penanda kekuasaannya sekaligus sebagai jalan me-nuju pelupaan kepada penguasa sebelumnya. Proyek ruang publik penguasa hari ini belum tentu pula akan dilanjutkan oleh penguasa setelahnya karena ego lebih besar dan mental preman masih menancap di dalam politik kekuasaan itu. 

 

     Besarnya pengaruh pembangunan ruang publik yang tertanam di dalam memori kolektif warga kota maka program-program yang bersifat pembangunan ruang publik yang tidak menjangkau minat orang banyak akan selalu dikesampingkan. Cobalah kita lihat setelah 51 tahun usia kota ini mana pernah ada didiri-kan museum, perpustakaan, kantor MUI, kantor LKAAM kota, kantor bundo kanduang, secara khusus. Sebab ruang-ruang publik seperti itu hanya akan men-jangkau minat sedikit orang namun tidak dengan ruang publik olahraga yang sangat gencar-gencarnya dibangun pada masa terakhir ini. Bahkan Batang Agam pun tidak luput dari sasaran normalisasi untuk memperlihatkan dingin-nya kakok tangan penguasa.

 

     Selama membangun politik kekuasaan, penguasa-penguasa juga suka menganti-ganti branding tagline kota ini seperti anak-anak yang baru mendapatkan mainan. Dulu pernah melekat branding Payakumbuh Kota Idaman (PKI), Kota Biru, Kota Galamai, Kota Batiah, dan terakhir adalah Kota Randang (City of Randang). Namun karena kongsi pecah maka ada pula tagline baru terakhir ini yaitu Payakumbuh Menanam, Payakum-buh Lestarikan Alam pada HUT Kota Payakumbuh yang ke-51 kemarin. 

 

Payakumbuh, 2022

 

Feni Efendi, pencatat memori kolektif 

 


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama