MR. SYAFRUDDIN PRAWIRANEGARA MEMBAWA BERKAH TERHADAP DAERAH-DAERAH YANG PERNAH DITINGGALINYA SEMASA PDRI



Saya telah menyusuri berbagai tempat yang disinggahi oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara dalam memimpin PDRI sejak dari Bukittinggi, Halaban, Bangkinang, dan terus ke Taratak Buluah, Lipek Kain, Muaro Lembu, Teluak Kuantan, dan menginap di Taluak, lalu lanjut ke Sungai Daerah dan memudiki Sungai Batang Hari dan Batang Sangir menuju Abai dan Bidar Alam di So-lok Selatan. Setelah tiga bulan Mr. Syafrudin di Bidar Alam maka pemerintahan PDRI pun dilanjutkan ke Calau dan Silantai Sumpur Kudus untuk melakukan musyawarah besar antar semua pejabat tinggi PDRI pada tanggal 14 sampai 17 Mei 1949. Rapat itu mem-bahas mengapa Soekarno mengutus Mr. Moh. Roem sebagai perwakilan Indonesia tanpa sepengetahuan dan persetujuan pejabat PDRI. Padahal di masa itu, pemerintahan PDRI adalah pemerintahan yang sah secara de jure sedangkan posisi Soekarno adalah tawa-nan Belanda maka sudah bisa dipastikan Roem-Royent Statement itu seperti pembicaraan antara sipir dengan tahanan penjara. Setelah musyawarah besar di Silantai yang berakhir kekecewaan di hati pejabat-pejabat ting-gi PDRI itu maka Mr. Syafruddin pun tetap tinggal sekitar sebulan di sana dan tidur di Surau Tobiang. 

 

     Dari Silantai Mr. Syafruddin memutuskan ke Koto Tinggi pada tanggal 20-an di bulan Juni melewati Tan-jung Bonai Aur dan terus ke pinggiran wilayah Lintau di sepanjang aliran Batang Sinamar dan tembus di Lompek Halaban dan singgah di Ampalu. Dari Am-palu Mr. Syafruddin mengitari jalan bagian timur Li-ma Puluh Kota dan keluar di Tigo Alua Batu Balang dan terus ke Anak Kubang Tanjung Pati dan berjalan ke Gurun dan Tigo Balai di Lubuak Batingkok. Dari sana sudah dekat ke Pogang Taeh Bukik lalu turun di Talang Maur dan melintasi perbukitan dan sampai di Guntuang Andiang dan terus Puar Datar Koto Tinggi. Di Puar Datar itu Mr. Syafruddin menginap di rumah Usman dan rapat-rapat terbatas sering dilakukan di sana. 

 

     Pada tanggal 1 Juli 1949, Mr. Syafruddin beserta pejabat tinggi lainnya mengadakan rapat besar di Sungai Naning dan hasil dari rapat itu diputuskan bahwa pejabat PDRI menerima kunjungan rombongan dr. Leimena dan M. Natsir di Padang Japang yang saat itu sudah tiba di Padang. Pada tanggal 6 Juli 1949, Mr. Syafruddin bersama pejabat tinggi PDRI lainnya be-rangkat ke Padang Japang. Di malam hari di bulan pu-asa ketika itu, pejabat PDRI dan rombongan Leimana yang diutus oleh Perdana Menteri Moh. Hatta itu rapat secara maraton tentang penyerahan mandat kepada Soekarno-Hatta di Yogyakarta. Mulanya pihak pejabat tinggi PDRI bersikeras tidak mau menyerahkan man-dat namun akhirnya mengalah juga demi persatuan bangsa yang baru seumur jagung merdekanya itu. 

 

     Pejabat PDRI pun meminta syarat bahwa penye-rahan mandat itu harus bersama Jenderal Sudirman di Yogyakarta. Karena hasil kesepakatan itulah akhirnya Jenderal Sudirman yang sedang bergerilya di peda-laman hutan Pulau Jawa itu akhirnya keluar dan ma-suk kota dan menemui Mr. Syafruddin yang sudah tiba di Yogyakarta sejak tanggal 10 Juli. Mandat itu diserahkan pada tanggal 13 Juli 1949. Maka sejak itu berakhirlah PDRI yang didirikan 19 Desember 1948 di Bukittinggi dan ditetapkan pada 22 Desember 1948 di Halaban. 

 

     Selama mencari lokasi tempat-tempat yang dising-gahi Mr. Syafruddin itu maka saya menemukan ba-nyak kekeliruan penulisan tempat oleh para sejara-wan. Misalnya nama daerah Siaur yang ditulis di da-lam buku-buku sejarah berada di Sumpur Kudus namun ketika saya observasi ke sana ternyata tidak ada nama daerah Siaur di situ. Nama daerah Siaur itu saya temukan sebagai nama sebuah jorong di Nagari Ampalu Kabupaten Lima Puluh Kota dan memang memori kolektif tentang PDRI di sana masih teringat jelas oleh pelaku dan saksi peristiwa yang masih hidup. 

 

     Selama saya menyusuri tiap-tiap daerah yang disi-nggahi oleh Mr. Syafruddin maka setiap daerah itu merasa bahwa daerah merekalah paling berjasa dan paling berperan di dalam perjuangan PDRI. Secara positif kita tentu mengapresiasi akan itu sebab dengan adanya pejabat-pejabat PDRI yang singgah dan tinggal di daerah mereka maka secara jiwa kebangsaan telah membangkitkan semangat nasionalis dan kebanggaan atas daerahnya masing-masing yang pernah berperan besar menjadi mata rantai kemerdekaan Indonesia. Bangga sekali. Dan tentu pengetahuan dan sosialisasi PDRI itu harus tetap dijalankan agar menjadi pelecut semangat bagi generasi selanjutnya. Sosialisasi dan ja-lan penyebar pengetahuan itu dapat saja dilakukan de-ngan mendirikan tugu-tugu di lokasi peristiwa PDRI atau juga dengan mendirikan museum sederhana di masing-masing daerah basis PDRI itu

     Hal lainnya yang saya temui ketika menyusuri je-jak-jejak Mr. Syafruddin itu adalah munculnya rasa prihatin di hati masyarakatnya. Di hati mereka yang sudah tertancap kebanggaan akan daerahnya sebagai basis PDRI atau tempat tinggal Mr. Syafruddin namun perjuangan dan peran aktif daerahnya di masa lalu belum begitu dihargai oleh pemerintah berwenang. Bentuk rasa dihargai itu bisa berupa diperbaiki jalan di daerah mereka yang awalnya masih berupa jalan tanah lalu diaspal pemerintah. Sehingga dengan begitu, be-ban ongkos transportasi pertanian dari daerah ke kota menjadi lebih murah dan keuntungan petani menjual hasil pertaniannya menjadi lebih maksimal. Atau juga bisa dengan mendirikan sekolah SMA yang belum ada di daerahnya sehingga anak-anak di daerah tersebut tidak lagi berjalan 10 km setiap hari pulang pergi ke SMA di daerah tetangga. Itulah kemerdekaan yang sebenar-benarnya menurut mereka. 

 

     Persoalan lainnya yang saya temui selama meneliti jejak Mr. Syafruddin itu adalah ada beberapa daerah yang mengaku-ngaku sebagai basis PDRI atau tempat singgah Mr. Syafruddin. Lalu ketika saya telusuri de-ngan mencocok data dari Arsip Nasional, pelaku seja-rah, buku-buku yang menjadi data primer, maka dae-rah-daerah yang diklaim itu adalah di dalam peristiwa PRRI. Dan tentu saya tidak akan menuliskannya di sini tentang nama-nama daerah itu. Ada juga saya melihat suatu kali di dinding media sosial tentang akan di-adakannya acara PDRI di suatu tempat dan panitia acara telah mempersiapkan acaranya hampir ram-pung, namun ketika saya kontak dan mengatakan bahwa Mr. Syafruddin pernah tinggal di sana namun ketika di Peristiwa PRRI maka panitia acara pun me-maklumi dan membatalkan acaranya. 

 

     Masih membahas tentang tempat yang pernah ditinggali Mr. Syafruddin, maka pada suatu dini hari, saya ditelpon oleh seseorang pemerhati sejarah bahwa seorang rektor dari sebuah universitas swasta di Sumatera Barat telah menjadikan sebuah surau di sebuah daerah menjadi tempat bersejarah dan akan membuatkan replika surau itu di kampusnya sebagai museum dan literasi PDRI. Bahkan tempat itu dires-mikan pada pagi hari itu juga oleh seorang wakil gu-bernur dan spanduk-spanduk telah disebarluaskan. Lalu saya katakan dengan tegas bahwa Mr. Syafruddin tidak pernah tinggal di sana pada masa PDRI namun pada masa PRRI adalah benar. Maka pemerhati sejarah itu menghubungi wakil bupati saat itu juga dan judul acara besok pagi pun akhirnya diganti dan tetap mela-kukan peresmian. 

 

     Begitulah pengalaman yang saya dapatkan ketika dan setelah menyusuri jejak Mr. Syafruddin Prawira-negara yang saya tuangkan ke dalam sebuah buku memori kolektif tentang menyusuri jejak Mr. Syafrud-din dalam menjalankan PDRI pada masa agresi militer kedua di Sumatera Tengah. Adapun pengalaman lain-nya dari berkah meneliti Mr. Syafruddin ini adalah dihubunginya saya sebelum tanggal 15 Januari 2022 kemarin oleh seorang crew freelance film dokumenter televisi Kerajaan Belanda, NOS TV, untuk menanya-kan beberapa hal tentang Peristiwa 15 Januari Situjuh dan juga tentang korban agresi militer Belanda di Jem-batan Ratapan Ibu Payakumbuh. Dan di sana saya menjelaskan bahwa peristiwa-peristiwa agresi militer kedua Belanda yang menewaskan Khatib Sulaiman di Situjuh itu dan juga korban-korban di Jembatan Ratapan Ibu adalah pada masa PDRI dengan ketuanya Mr. Syafruddin Prawiranegara. Dalam beberapa hari itu pula saya bergerak cepat mencari keluarga-keluar-ga korban pembantaian yang dilakukan oleh Belanda di Jembatan Ratapan Ibu itu. Sedangkan untuk Peris-tiwa Situjuah, saya pun memberikan beberapa reko-mendasi nama untuk bisa diwawancarai oleh tim crew film dan disyuting untuk pembuatan film tersebut. 

 

     Empat bulan setelah itu, saya dikontak lagi oleh sebuah stasiun televisi nasional, namun karena saat itu saya sedang sakit cukup keras maka dalam beberapa hari itu saya tidak melihat pesan di ponsel saya itu secara rutin seperti biasanya. Tentu proses wawancara itu tidak jadi terlaksanakan. Dan sekitar dua bulan setelahnya, saya diminta oleh sebuah stasiun televisi lokal untuk membuatkan skenario film tentang tokoh PDRI dalam waktu yang singkat, namun lagi-lagi, anak saya yang masih berumur 3 tahun sedang dalam proses menuju operasi maka saya pun menerima tawa-ran lain sebagai editor yang bisa menghasilkan biaya lebih cepat untuk persiapan operasi anak saya itu. 

 

     Begitulah berkah dari penelitian menyusuri jejak-jejak Mr. Syafruddin Prawiranegara yang saya dapat-kan. Dan dari hari ke hari, daerah-daerah yang menja-di basis dan tempat tinggal oleh Mr. Syafruddin itu juga terus mendapatkan berkah dengan diberikannya perhatian yang semakin besar oleh pemerintah daerah. Padahal dulunya rakyat mendukung dan menopang transportasi dan akomodasi PDRI ataupun Mr. Syaf-ruddin itu hanyalah karena panggilan jiwa. Begitu juga dengan apa yang saya lakukan dulu ketika mene-lusurinya dan masuk hutan keluar hutan, dari kota A ke kota B, tanpa tahu atas alasan apa yang saya menja-laninya. Terkadang ketika sendirian di dalam kam-pung atau di dalam hutan ketika itu terbersit juga se-buah pikiran di kepala saya, "Apa yang telah saya lakukan dengan berjalan-jalan tak jelas ini?"

 

Feni Efendi, pencatat memori kolektif

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama