MERAWAT MEMORI KOLEKTIF PERADABAN MAEK

 


"Tanpa ingatan, tidak ada budaya. Tanpa ingatan, tidak akan ada peradaban, tidak ada masyarakat, tidak ada masa depan." - Elie Wiesel

 

I-Tsing, seorang biksu dari Guangzhou China di abad ke-7 mengembara menuju Nandala India untuk mem-perdalam agama Budha. Di dalam perjalanan, ia sing-gah di pusat Kerajaan Sriwijaya dalam waktu yang sa-ngat lama. Dalam catatannya yang telah menjadi cata-tan tertua tentang Sriwjaya itu telah diterjemahkan oleh J. Takakusu tahun 1896 ke dalam Bahasa Inggris yang mencatat bahwa penduduk di ibu kota (Fo-shih) banyak menghasilkan pinang, pala, cengkih, dan kapur barus. Dan di negeri Shih-li-fo-shih itu, pada pertengahan bulan kedelapan, jika orang berdiri di siang hari, tiada baya-ngan yang tampak. Matahari lewat persis di atas kepala dua kali dalam setahun. Dan memang tidak ada kota yang benar-benar memiliki bayang-bayang di tengah hari kecuali Bonjol, Maek, dan Pontianak. Apakah Maek termasuk salah satu pusat Kerajaan Sriwijaya sebagai-mana banyak daerah mengklaim sebagai pusat Kera-jaan Sriwijaya itu? Tentunya spekulasi dalam mencari dan menelusuri peradaban Maek yang masih samar-samar itu akan membawa kepada pencarian-pencarian lain di ingatan. 

 

     Di lembah yang hijau itu, pohon-pohon pinang yang berjajar di perbukitan dan kebun-kebun gambir bertumbuh di sepanjang landai perbukitan seperti hamparan ingatan yang harus kembali dipungut. Memilah-milahnya, lalu dikumpulkan agar generasi mendatang bisa merawatnya. Ingatan-ingatan yang bisa menumbuhkan harga diri mereka, menata kebu-dayaan mereka, ataupun merekonstruksi kembali pe-radaban yang pernah ada di daerah itu. Meski kerja-kerja kebudayaan itu terkadang bisa saja ditunggangi oleh para politisi yang bersembunyi di balik APBD. Namun tanpa adanya ingatan tidak ada budaya, maka berbagai upaya yang telah dilakukan untuk menggali peradaban di Maek itu sudah seharusnya didukung pula oleh semua pihak. Di mana ingatan bersama (me-mori kolektif) di tengah-tengah masyarakat akan men-jadi identitas budaya. Ingatan bersama yang berupa cerita-cerita rakyat, tambo-tambo, kesenian daerah, makanan daerah, permainan daerah, ataupun legenda-legenda yang sudah dirawat sejak dari nenek moyang. 

 

     Maek yang dilingkari perbukitan Bukit Barisan dan menjadi tempat peradaban zaman megalitikum, lem-bah itu dibelah oleh aliran sungai Batang Maek yang berhulu di Baruah Gunuang. “Batang Maek Kuniang namanya sebagai anak sungai,” kata Zelfeni Wimra, akademisi UIN Imam Bonjol Padang. “Adapun aliran Sungai Naniang jatuhnya juga ke Batang Maek. Dulu orang-orang penggalas dari Sungai Naniang berjalan kaki ke Maek melewati Rimbo Susugi dan menuruni jalan Datuak Mbuku. Menhir-menhir juga ada di Su-ngai Naniang, namun sudah banyak yang dipecah un-tuk pondasi rumah,” kata sastrawan asal Sungai Na-niang itu prihatin.

 

     Berkendara melewati jalan sunyi di ketinggian Pun-cak Simun Maek, saya pun teringat pembahasan bebe-rapa tahun lalu tentang mana yang dulu Maek dengan Pariangan bersama Y.R. Dt. Parmato Dirajo Ati Ameh; beliau mantan ketua KAN Nagari Koto Nan Ompek dan juga ahli adat. Dan setiap tikungan dan turunan tajam sebelum memasuki perkampungan Maek itu se-perti menelusuri peradaban Maek yang penuh spe-kulasi. Hal yang sama juga pernah saya bahas dengan almarhum inyiak Asbir Dt. Rajo Mangkuto setahun lalu, “Mana yang dulu antara Maek dengan Paria-ngan?” kata beliau yang merupakan pakar sejarah adat Minangkabau dari Simarosok itu dan masih keturunan dari keponakan Rajo Lintau serta beliau merupakan salah satu anak dari Syekh Sulaiman Arrasuli Can-duang. Dan saya yang hanya anak muda mentah dan masih minim ilmu ini hanya menjawab bahwa pera-daban Maek dimasuki melalui pantai timur Sumatera. Hal itu bisa kita lihat dengan banyaknya jalur-jalur sungai utama di ketinggian pedalaman Minangkabau bermuara ke pantai timur. Begitupun dengan perada-ban di Pariangan terbentuk melalui jalur sungai yang bermuara ke pantai barat Sumatera. Dan ketika kita membahas mana yang lebih dulu antara Maek dengan Pariangan, tentu masing-masing melahirkan kebuda-yaannya yang khas. Sebagaimana kebudayaan sejak dulu saling mempengaruhi maka berbagai kebuda-yaan di Luhak lima Puluh ini lebih banyak memiliki persamaan dengan wilayah di seberang pantai timur Sumatera seperti Vietnam, Kamboja, Laos, dan Thai-land, ataupun Yunan di China. Di mana kesamaan tradisi mereka seperti membuat lemang dari bambu, suka memelihara kerbau, memakai tingkuluk meski tidak terlalu persis, memakai sunting untuk pengantin perempuan, memakai lesung, batu-batu, ataupun tra-disi meratapi mayat. Dan beberapa dekade lalu masih ditemukan budaya maratok di Nagari Suayan dan Na-gari Batu Balang yang belum terlalu jauh dari Maek.”

 

     Pertanyaan yang sama itu juga mengingatkan saya tentang asal-usul orang Minangkabau menurut Prof. M.D. Mansyur dkk. yang dibahas oleh Bundo Prof. Dr. Ir. Rhauda Thaib, M.P di kanal Youtube-nya, Tapian Kato. Kata Bundo (sama-sama tim penyusun buku Direktori Minangkabau dengan inyiak Asbir Dt. Rajo Mangkuto) mengatakan bahwa periode pertama ditan-dai dengan kedatangan suku bangsa Mee Nan dari Yunan pada 2000 SM (Astronesia, wilayah selatan Ci-na, disebut juga Proto Melayu atau Melayu Tua) yang membawa kebudayaan menhir dan atap rumah ber-gonjong. Bangsa Mee Nan ini suka memelihara kerbau dan kebudayaannya disebut Neolitikum atau Kebuda-yaan Batu Baru. Peninggalannya dapat dilihat pada menhir-menhir Maek yang sudah berusia 2000 SM dan ada juga yang mengatakan 500 SM. Adapun suku Mee terdiri dari Mee Utara (Mee Pe), Mee Tengah (Mee Ao), Mee Selatan (Mee Nam). Dan dari beberapa pen-dapat para ahli, bangsa Mee Nam memudiki Batang Kampar Kanan dan terus ke Batang Maek untuk me-mulai peradaban baru. Bisa saja penyebab migrasi ka-rena peperangan di wilayah asal ataupun faktor sosial lainnya. Selanjutnya pada periode kedua, kata Bundo Rhauda, ditandai dengan kedatangan bangsa dari Hin-dia Belakang (seperti Vietnam, Kamboja, Laos). Mere-ka datang secara bergelombang pada abad ke-5 SM yang disebut juga dengan Detro Melayu (Melayu Mu-da). Mereka membawa kebudayaan berupa lesung, kampak, dan budaya ritual meratap agar si mayat mendapatkan kebahagian di alam baka. 

 

     Kembali kepada ingatan dengan Inyiak Asbir, kesa-maan orang Luhak Lima Puluh dengan orang di se-berang pantai timur Sumatera itu, saya mengatakan kepada almarhum bahwa, “Orang-orang di Luhak Lima Puluh memiliki postur tubuh yang lebih mirip dengan orang-orang yang di seberang pantai timur Sumatera itu seperti kulitnya yang lebih putih, ram-butnya yang lebih lurus, dan matanya yang lebih sipit. Dan sebagaimana menhir-menhir yang menjadi pe-nanda peradaban di Maek maka daerah-daerah yang dilewati sungai-sungai yang bermuara ke pantai timur Sumatera itu juga terdapat menhir-menhir. Seperti Batang Maek yang bermuara ke Batang Kampar Kanan maka daerah-daerah yang lewatinya seperti Koto Lamo, Lubuak Alai, Gunuang Malintang, dan Pangka-lan, sudah ditemukan keberadaan menhir-menhir mes-ki tidak setinggi dan sebesar di Maek. Begitupun de-ngan Batang Sinamar yang juga berhulu di Nagari Tanjuang Bungo yang tidak jauh dari Maek (hulu satunya lagi di Bukik Pamatang Panjang Nagari Koto Tinggi) maka aliran sungai (rantau) itupun juga dipe-nuhi dengan menhir-menhir seperti Nagari Sungai Na-niang, Nagari Banja Loweh, Nagari Andiang, Nagari Sungai Rimbang, Nagari Koto Tinggi, Nagari Pandam Gadang, Nagari Limbanang, Nagari VII Koto Talago, Nagari Guguak VIII Koto, Nagari Kubang, Nagari Su-ngai Talang, Nagari Gurun, Nagari Lubuak Batingkok, Nagari Harau, Nagari Solok Bio-Bio, dan Nagari Ha-laban. Adapun melalui hulu sungai Batang Lampasi di Siamang Bunyi Nagari Kubang maka di sepanjang aliran sungai itu juga terdapat menhir-menhir seperti di Nagari Pauah Sangik, Nagari Suayan, Nagari Sariak Laweh, Nagari Durian Gadang, Nagari Sungai Be-ringin, Nagari Piobang, dan Nagari Koto Panjang Lam-pasi. Begitu juga di sepanjang aliran anak-anak sungai Batang Agam di Situjuah Banda Dalam juga ada persebaran menhir-menhir.” Dengan penuh takzim, beliau pun tersenyum dan menganguk mendengar ja-waban yang sampaikan. “Maka dengan begitu, sebe-lum rombongan yang 50 itu turun dari Pariangan ma-ka wilayah Luhak Lima Puluh ini sudah dihuni oleh masyakaratnya. Sampai di sini kita tidak tahu, apakah nama kebudayaan di sini (Maek) sebelum didatangi oleh rombongan yang 50 itu dari Pariangan. Sebab sistim luhak baru ada di masa Pariangan. Adapun wilayah di daerah ini masih berupa nagari-nagari yang otonom. Bahkan ketika orang Pariangan itu datang, mereka disambut dengan keramahan dan kekeluar-gaan sehingga muncul istilah ikannyo jinak, sayaknyo landai, aie nyo janiah, sebagai ungkapan tentang kera-mahan orang Luhak Lima Puluh. Dan 50 rombongan atau kabilah atau 50 kaum itu yang masing-masingnya membawa kebesarannya seperti gelar adat, pusaka adat, dan kebutuhan lain seperti bibit padi dan kepan-daian lainnya seperti membuat tembikar, kesenian dan lain-lain,” saya pun berusaha mengingat wajah-wajah beliau yang sudah mulai samar di ingatan. 

 

     Ketika sedang berusaha mengingat wajah-wajah beliau itu, perasaan saya campur aduk melewati penu-runan curam di Kelok Galak sebelum sampai di Koto Godang Maek. Namun penurunan curam itu terdapat aliran mata air perbukitan yang memecah sunyi jalan yang menuju ke peradaban Maek yang masih penuh spekulasi. Setiba di Koto Gadang, terlihat Bukik Po-suak di arah tenggara Nagari Maek. Dan di sebelah kiri jalan terlihat plank merk Situs Cagar Budaya Me-galit Balai Batu (Koto Gadang). Dan pada zaman dulu, di Balai Batu ini ada dudukan batu Niniak Nan Barom-pek namun sekarang batu dudukan itu konon berada di Belanda. Adapun Niniak Nan Barompek itu yaitu Datuak Maharajo Indo yang berkedudukan di Banja Loweh, Datuak Siri berkedudukan di Mungka, Datuak Bandaro di Maek, dan Datuak Rajo Dubalai di Muaro Takus. Sampai sekarang, batu sandaran Niniak nan Barompek juga ada di Limbonang Baruah, Nagari Lim-bonang. Selain untuk musyawarah oleh Niniak nan Barampek, Balai Batu yang setinggi 80 cm dan luas 6 x 6 meter ini dulunya tempat dilakukan tradisi tolak bala. “Tradisi tolak bala itu dengan memotong seekor sapi yang disertai acara makan-makan. Namun tradisi ini sudah dihentikan sejak tahun 1980-an,” kata Zul Dt. Pado, salah satu tokoh masyarakat di Maek. 

 

     Di Balai Batu itu, seorang arkeolog asal Jerman, Dominik Bonatz, pernah ditemani oleh Arbi Tanjung asal Bonjol Pasaman untuk menggali dan meneliti menhir-menhir Maek. “Dan kami ketika itu menemu-kan piring-piring, ceret, dan perkakas lainnya dari abad ke-18”, kata Arbi Tanjung sembari mengingat-ngingat eksepedisinya bersama Dominik pada 14 ta-hun lalu. “Dominik menulis buku tentang penelitian-nya itu dalam bahasa Jerman yang berjudul Megalithen Im Indonesischen Archipel. Dominik menyimpulkan 3 gelombang dalam peradaban Maek. Gelombang per-tama sudah ada sejak 5000—9000 tahun SM. Sedang-kan gelombang kedua yaitu di abad ke-15 di mana kebudayaan islam sudah masuk. Adapun gelombang ketiga terjadi pada abad ke-18,” kata Arbi Tanjung menjelaskan penuh semangat via telpon. 

 

     Sebelum sampai di Jembatan Aur Duri, terlihat Balai Adat Nagari Maek yang terdiri dari 6 suku itu memiliki sistem pemerintahan adat dengan struktur pemerintahan yaitu Rajo nan Baduo yang terdiri dari Rajo Adat dan Rajo Ibadat. Adapun Rajo Adat dipe-gang oleh penghulu yang bergelar Datuk Bandaro sedangkan Rajo Ibadat dipegang oleh Dt. Rajo Dirajo. Di bawah kepemimpinan Rajo nan Baduo yaitu Pu-cuak nan Baronam sebagai puncak pimpinan tertinggi dari masing-masing suku yang berjumlah 6 buah suku itu. Adapun keenam suku itu yaitu piliang, kampai, domo, melayu, mandailing, dan pitopang. Sedangkan di bawah pimpinan Pucuak nan Baronam yaitu Datuk Ampek Suku, dan selanjutnya adalah Datuk Andiko. “Dan jika melihat dari struktur pimpinan adat di Na-gari Maek ini maka sistem ini sudah memakai sistem pemerintahan adat dari Pagaruyung”, kata saya kepa-da Zul Dt. Pado sembari mengingat-ingat gelombang kedua penghuni Maek seperti yang dipetakan oleh Dominik.  

 

    Sesampai di Simpang Empat Pasar Maek, belok ke kanan bisa menuju Menhir Ronah, Menhir Padang Hilalang dan Menhir Bawah Parit di Koto Tinggi serta Sopan Godang dan Nenan yang bisa tembus ke Galu-gua Nagari Kapur IX. “Dan di Aur Duri itulah tempat paling dahulu di huni,” kata Zul Dt. Pado. Dan di persimpangan empat Pasar Maek di Jorong Ronah itu, arah ke timur akan melewati 3 sungai kecil dengan airnya yang jernih. Pada sungai terakhir yang ber-jembatan kayu itu akan ditemukan jalan tanah sejauh satu jam perjalanan motor sampai ke Nenan. Dari sini, ada sekitar beberapa km lagi sampai ke Galugua Nagari Kapur IX. “Semoga jalur ke Nenan ini bisa menjadi jalur peradaban Maek di masa depan sebagai pintu dunia luar,” kata Zul Datuak Pado yang menjadi tokoh masyarakat Maek itu berharap. “Mudah-muda-han jalur dari Galugua ke Nenan dan lalu tembus ke Puncak Sugak bisa menjadi jalan alternatif di masa de-pan. Jika jalan negara Kelok Sembilan yang menghu-bungkan Sumbar dan Riau terputus maka ada jalan alternatif dari Pangkalan ke Maek untuk menuju Paya-kumbuh atau Bukittinggi. Dengan melewati Puncak Sugak dari Maek ke Talang Maur bisa memangkas jalan hingga 9 km” harap Datuak Pado menambahkan ketika saya temuinya di jorong Koto Tinggi. 

 

     Dilingkarinya Nagari Maek ini oleh Bukit Barisan maka bukit-bukit yang saling sambung menyambung itu seperti benteng pertahanan kota kuno. Dan susu-nan bukit-bukit itu seperti alur memori kolektif di Nagari Maek yang berupa cerita-cerita rakyat, tambo-tambo, legenda, dengan menhir-menhirnya dengan cerita yang telah diturunkan dari generasi ke generasi itu akan mencerminkan nilai-nilai moral, kepercayaan, dan pelajaran hidup hingga hari ini. Begitupun dengan tradisi lisan, seperti nyanyian, tarian, dan permainan tradisional, juga akan menjadi ruang untuk melestari-kan memori kolektif yang menumbuhkan identitas kebudayaan di masyarakat Maek. Dan memori kolektif sebagaimana tujuannya, ia akan menjadi ruang dalam memperkuat identitas kebudayaan di masyarakat. Di mana pengetahuan tentang asal-usul dan nilai-nilai budaya, akan menjadi pengetahuan baru dalam mem-bangun identitas kebudayaan di masyarakat dan diak-tivasi ke tengah ruang publik. Dengan adanya ruang publik, orang-orang akan terus mengingatnya dan menjadi wadah memori kolektif yang baru. Sehingga dengan begitu, identitas kebudayaan sejak dulu sam-pai kini, berupaya menjadikan ruang publik sebagai wadah untuk membangun politik kebudayaan seba-gaimana umumnya.

 

     Salah satu perangkat kebudayaan di Maek yang patut diangkat ke ruang publik di antaranya cerita rakyat. Dan di antaranya cerita rakyat tentang asal usul nenek moyang mereka yaitu berasal dari Kamboja sebagaimana yang ditulis oleh Saiful Guci di dalam catatan Facebook Ciloteh Tanpa Suara. Di dalam catatan itu, Saiful Guci menceritakan bahwa pada pada zaman dahulu, ada seorang pemuda yang bernama Datuk Sri Gala dari Kamboja. Ia sangat tampan, tubuhnya kuat dan pintar, namun ia terlahir dari keluarga sederhana. Pemuda tersebut telah menarik hati raja Kamboja dan berniat hendak menikahkannya dengan putri raja. Se-bagai pemuda yang bijak, ia tidak langsung menerima tawaran dari raja tersebut, namun pemuda itu memin-ta waktu untuk menyelediki wilayah di Indocina tersebut. Dari usaha penyelidikan tersebut, ternyata semua wilayah tersebut telah dihuni oleh kerajaan-kerajaan kecil lainnya. Lalu pada permintaaan kedua raja, pe-muda tersebut menyanggupi untuk menikah dengan putri raja. 

 

     Setelah pemuda tersebut menikah dengan putri raja, pemuda itu lalu meminta izin kepada raja untuk men-cari daerah baru. Maka berlayar pemuda itu bersama istrinya yang diiringi oleh prajurit kerajaan. Mulanya mereka berlayar ke tanjung Malaya lalu terus ke ujung Pulau Sumatera. Namun semua daerah yang dilewati itu sudah dihuni. Mereka akhirnya menyusuri pantai timur Sumatera lalu terus memudiki Batang Kampar. Di Langgam, pertemuan Batang Kampar Kanan dan Kampar Kiri, Dt. Sri Gala memudiki Batang Kampar Kanan hingga terus ke Batang Maek. Di hulu Batang Maek, Dt. Sri Gala menambatkan kapalnya di Sopan Tanah. Setelah mencari-cari tempat yang bagus untuk pemukiman maka Dt. Sri Gala memutuskan untuk membuka lahan di Koto Godang. Dan di sinilah Dt. Sri Gala tinggal dan setiap ada rakyatnya yang meninggal maka makamnya akan dibangun sebuah menhir. Ada-pun Dt. Sri Gala dimakamkan di Ampang Gadang di dekat Bukit Pao Ruso. Namun setelah saya telusuri dan bertanya kepada tokoh dan masyakarat di Maek tentang cerita Datuk Sri Gala maka tidak ada cerita tersebut berkembang di tengah-tengah masyarakat.

 

     Cerita rakyat selanjutnya di Nagari Maek sebagai-mana masih ditulis oleh Saiful Guci di dalam catatan Ciloteh Tanpa Suara itu tentang adanya 4 orang pemuda yang bernama Datuk Maharajo Indo, Datuk Siri, Datuk Bandaro, dan Datuk Dubalai atau dikenal juga dengan nama Niniak Nan Barompek. Dan empat pemuda ini  menelusuri Batang Maek hingga sampai ke Batang Kampar. Setiba di pertemuan sungai Batang Kampar Kanan dan Kampar Kiri di Langgam, Pelalawan, Da-tuk Siri melihat burung garuda raksasa sedang me-nangkap seorang putri dari Mahat India yang bernama Putri Indira. Lalu Datuk Maharajo Indo pun yang me-miliki keahlian memanah langsung menarik busur pa-nahnya dan memanah burung garuda. Bidikan Datuk Maharajo Indo mengenai sasaran burung garuda dan Putri Indira pun terjatuh ke sungai. Lalu Datuk Ban-daro yang memiliki keahlian menyelam pun langsung terjun ke sungai dan berhasil menyelamatkan Putri Indira. Setelah Putri Indira dibawa ke darat dan siu-man, ia pun terpesona dengan dengan ketampanan Datuk Dubalai. Putri Indira pun bersedia dibawa ke Koto Gadang oleh pemuda yang berempat itu maka masyarakat pun menyebut putri dari India yang cantik jelita itu dengan sebutan Putri Mahat.

 

     Adapun cerita yang paling berkembang di tengah masyarakat Maek yaitu cerita tentang asal usul Bukik Posuak. Pada zaman dulu, ada seorang laki-laki (seba-gian ada yang menceritakan seorang raja dan sebagian lagi ada yang menceritakan seorang pengembara) yang bernama Bagindo Ali dari Bukit Malintang. Di saat itu, Bagindo Ali melakukan kegemarannya ber-buru. Namun perburuan di hari itu tidak semudah biasanya mendapatkan hewan buruan rusa. Lalu tiba-tiba muncullah seekor rusa yang besar dan Bagindo Ali memanahnya. Ternyata bidikan panah meleset. Bagindo Ali marah dan tidak mau pulang sebelum mendapatkan rusa yang besar itu. Setelah berhari-hari di dalam hutan, akhirnya rusa itu ditemukan. Lalu rusa itu kembali dipanah dan panah menancap tepat di kepala. Rusa itu mati dan lalu dicincang-cincang oleh Bagindo Ali karena marah. Dan sebuah paha dari rusa itu dilemparkan ke langit hingga tembus ke se-buah bukit. Di kemudian hari bukit itu bernama Bukik Pao Ruso dan lubang di bukit itu bernama Bukik Posuak.    

 

     Sungguhpun Nagari Maek yang seluas 122,06 km persegi atau hampir separuh luas dari Kecamatan Bukit Barisan itu masih jauh dari peradaban dunia modern hari ini, namun bukit-bukit yang mengelilingi nagari itu sangat indah dengan Bukit Posuak namun akses transportasi menuju ibu kota kabupaten atau Kota Payakumbuh masih cukup terisolir. “Seandainya saja akses jalan sangat baik antara Nagari Maek menu-ju Galugua yang melewati Nenan tentu perekonomian masyarakat Maek akan lebih meningkat,” kata Ipil Susanti salah seorang warga Payakumbuh yang ber-kampung halaman di Maek, “kami tentu akan lebih dekat mengantarkan hasil pertanian ke Riau melewati Pangkalan dan orang-orang dari luar pun semakin mudah berkunjung ke Maek untuk melihat pening-galan zaman megalit itu,” pungkasnya. Lalu di ufuk barat terlihat matahari semakin tenggelam dan saya pun berusaha secepatnya kembali ke Payakumbuh me-lewati Puncak Simun yang membawa ingatan kepada misteri dan spekulasi peradaban Maek itu. 

 

Payakumbuh, 2024

 

Feni Efendi, pencatat memori kolektif


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama