BATANG KUANTAN SEJAK DULU

 


Sebagai Jalur Dagang

 

     Kejayaan masa lalu Batang Kuantan di Sijunjung tak sepenuhnya hilang digerus zaman. Ia menyimpan satu peristiwa ke peristiwa lainnya di arusnya yang deras. Mulai dari sebagai jalur transportasi utama sejak za-man Kerajaan Kandis yang diperkirakan berdiri sejak 1 SM di Koto Alang, Lubuk Jambi, yang membawa hasil hutan seperti damar, sarang burung layang-layang, emas, perak, dari hulu Batang Kuantan di Sijunjung la-lu dibawa ke muara sungai di Tembilahan Indragiri Hilir dan diperdagangkan ke Semenanjung Malaya, China, Persia, dan India. Begitupun pada zaman Kera-jaan Dharmasraya yang menjadi pewaris kelanjutan Kerajaan Sriwijaya juga telah menjadikan Batang Kuantan sebagai bandar dagang utama selain di Siguntur dan Sungai Dareh di tepian Batang Hari (Cristine Dobbin, 2008).  

 

     Jalur perdagangan Batang Kuantan itu melewati berbagai anak-anak sungai utama Batang Kuantan yaitu Batang Sukam yang berhulu di Latang dan Kampung Dalam Sijunjung dan Nagari Sirukam, Kabupaten Solok, telah menjadi jalur dagang dari Solok yang menghasilkan banyak emas itu menuju pantai timur Sumatera melalui Batang Kuantan itu; begitupun dengan Batang Palangki yang menjadi na-ma Batang Kuantan di Nagari Muaro Sijunjung telah menjadi jalur utama perdagangan yang berhulu di Aro Suka dan melewati Nagari Palangki yang dulu juga menghasilkan banyak emas.

 

     Adapun Batang Ombilin yang juga menjadi anak sungai dari Batang Kuantan yang berhulu di Danau Singkarak itu juga memiliki anak sungai seperti Batang Selo, Batang Bangkaweh, Batang Lasi, juga telah men-jadi jalur dagang utama yang melewati Lintau, Padang Ganting, Batusangkar, Pariangan Padang Panjang, dan telah menjadi jalur penghubung utama dari Pagaru-yung yang membawa emas tak habis-habisnya ke pantai timur Sumatera

 

     Sedangkan Batang Sinamar yang juga menjadi anak sungai Batang Ombilin telah menjadi jalur dagang utama pula yang membawa emas dari hulu Batang Sinamar di Mangani, Koto Tinggi, Kabupaten Lima Puluh Kota. Karena begitu pentingnya jalur dagang di Batang Sinamar ini maka Kerajaan Pagaruyung juga menjadikan Taluak, Lintau Buo, sebagai pelabuhan sa-telit kerajaan selain Pangkalan Serai, Pangkalan Kapeh, Pangkalan Koto Baru, Pangkalan Indaruang, dan Silu-kah (Malako Kociak). Pebuhan satelit Kerajaan Pagaru-yung di Taluak Lintau Buo itu untuk membawa hasil emas yang banyak dihasilkan di Batang Sumpur di Sumpur Kudus. Pengelolaan hasil tambang emas di Batang Sumpur itu tak lepas dari kekuasaan Raja Ibadat  yang berdaulat di sana.

 

 

Sebagai Jalur Penyebaran Keagamaan

 

     Dengan berkembangnya jalur perdagangan itu ma-ka perkembangan ekonomi, penyebaran agama, dan pertukaran kebudayaan di sepanjang Batang Kuantan berjalan penuh dinamis. Hal itu dapat kita lihat de-ngan cepatnya perkembangan agama islam dipeluk oleh masyakarat Sijunjung seperti di Sumpur Kudus melalui jalur sungai Batang Sumpur yang bermuara ke Batang Kuantan.

 

     Penyebar agama islam ke Sumpur Kudus itu adalah Syekh Ibrahim (Syekh Baraih) konon dari Kudus yang menjadi murid dari Sunan Kudus sehingga Sumpur Kudus dikenal dengan Mekah Darek ketika Rajo Pandito III (Raja Ibadat yang berkedudukan di Sum-pur Kudus) telah mengikuti ajaran Syekh Ibrahim (kemudian hari dikenal dengan nama Syekh Ibrahim Sumpur) pada abad ke-16. Penerus dari Syekh Ibrahim di Sumpur Kudus adalah Syekh Abdul Wahab (abad ke-17) dari Tanjung Bonai Aur, Sumpur Kudus, yang berguru kepada Syekh Amilludin yang berasal dari Pudak, Nagari Sijunjung. 

 

     Adapun Syekh Amilludin sebelumnya berguru mendalami agama islam ke Surau Tuo Taram dengan jalur hubung melalui Batang Sinamar. Setelah belajar agama di Taram, Syekh Amilludin mendatangi daerah Siak dan menyebarkan agama islam di sana dan men-dapatkan murid yang banyak. Lalu murid-muridnya itu dibawa ke  Pudak, Nagari Sijunjung, melalui Ba-tang Kuantan dan terus ke Batang Sukam. Sampai se-karang untuk orang-orang yang belajar agama islam masih disebut “anak siak” dan guru yang mengajar disebut “orang siak”.

 

     Setelah berkembangnya agama islam di Pudak maka Syekh Amilludin mengutus muridnya, Syekh Abdul Wahab, untuk mengembangkan agama islam ke daerah baru. Syekh Amiluddin pun memberi petunjuk dengan menghanyutkan batu apung di Batang Sukam dan di mana berhentinya batu apung itu maka di situ-lah Syekh Abdul Wahab menetap untuk mengem-bangkan agama islam. Ternyata batu apung itu mene-tap di Calau, Subarang Sukam, Nagari Muaro. 

 

     Di Calau ini Syekh Abdul Wahab menetap dan mendirikan surau dan sampai sekarang surau itu ma-sih dikenal dengan nama Surau Tinggi Calau. Dan dari sini pula Syekh Abdul Wahab mengutus murid-mu-ridnya untuk menyebarkan agama islam ke daerah lain seperti Syekh Malin Bayang (1863—1963) di tepian Batang Sukam ke Jorong Gantiang dengan mendirikan Surau Simaung. Sedangkan ulama lainnya di Kabu-paten Sijunjung yaitu Syekh Muhammad Yassin (1827—1945)) di tepian Batang Ombilin yaitu di Jorong Aur Gading, Nagari Limo Koto, Tanjung Ampalu.

 

Sebagai Jalur Kebudayaan

 

     Setelah melihat perkembangan keagamaan di se-panjang jalur Batang Kuantan ini maka dengan begitu agama islam telah membawa warna di kebudayaan masyakatnya dari menganut Hindu/Budha lalu berasi-milasi dengan kebudayaan baru yang disesuaikan oleh ulama-ulama islam dengan kebudayaan sebelumnya. Salah satu kebudayaan dari leluhur itu bisa kita lihat dalam tradisi “bakaua” di Bukit Kandangbaru, Nagari Sijunjung. Tradisi bakaua ini telah menjadi agenda tahunan di Sijunjung yang ditandai dengan makan bajamba yang sudah berlangsung turun temurun sejak ratusan tahun yang lalu. 

 

     Kebudayaan lainnya dapat kita lihat pada dengan keberadaan Kampung Adat di Nagari Sijunjung yang dilalui oleh Batang Sukam dan Batang Kulambi yang memiliki 76 buah rumah gadang yang berjejer rapi. Adapun kebudayaan menarik lainnya di Musiduga (Muaro, Silokek, Durian Gadang) yang dilewati Batang Kuantan ini adalah Talempong Kayu dan Tari Podang di Nagari Durian Gadang. Biasanya alat musik talem-pong kayu ini dimainkan ketika upacara adat seperti ketika alek perkawinan, upacara adat, dan Silek Po-dang, yang diiringi oleh Gondang Sapasang, Oguang, dan botol limun. Dan satu lagi kesenian di Durian Gadang yang melekat di dalam hati masyarakatnya karena selalu bersentuhan dengan Batang Kuantan adalah diciptakannya Tari Mandulang Omeh.

 

Sebagai Jalur Diplomasi 

 

     Selain Batang Kuantan sebagai jalur perdagangan, penyebaran keagamaan, dan kebudayaan seperti di atas, di sini kita melihat beberapa peristiwa penting tentang Batang Kuantan dalam peradaban di zaman-nya. Peradaban pertama yaitu dengan berdirinya Kera-jaan Jambu Lipo yang lokasinya awalnya di puncak Bukit Jambulipo, Nagari Tarok Lipo, Sijunjung, terle-tak tidak jauh dari anak sungai Batang Kuantan yaitu hulu dari anak sungai Batang Sukam. 

 

     Selanjutnya kita melihat berdirinya Kerajaan Paga-ruyung tepian Batang Sinamar di Biaro, Tanjung Alam, Nagari Kumanis, Sumpur Kudus, (abad ke-14) sebe-lum dipindahkan ke Bukit Batu Patah, Batusangkar. Kerajaan Pagaruyung di Kumanis ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Dharmasraya yang dipindah-kan oleh Adityawarman. Selama mendirikan Kerajaan Pagaruyung di Kumanis itu, Adityawarman menikahi seorang putri dari Sumpur Kudus bernama Puti Pi-nang Masak. Kerajaan yang berada di tepian Batang Sinamar itu dibuatkan tempat pemandian untuk anak-anak raja yang dipagari dengan ruyung dari pohon nibung di Batu Jonggi. Meski sudah dipagari, ternyata salah seorang anak raja yang bernama Sutan Sari Alam tewas dimangsa buaya. Jenazah anaknya dimakamkan di Kubu Rajo, Biaro, Nagari Kumanis. Sejak saat itu, Adityawarman memindahkan kerajaannya lebih ke pedalaman Minangkabau lagi di Bukit Batu Patah yang tak jauh dari Batang Selo yang bermuara ke Ba-tang Ombilin (Nopriyasman, 2016).

 

     Catatan lainnya adalah tentang jejak peradaban di sepanjang aliran Batang Kuantan ini ditemukannya Batu Godang yang di Silukah, Nagari Durian Gadang. Batu Godang ini menurut memori kolektif di masya-rakat menerangkan bahwa batu itu dibawa oleh rom-bongan Kerajaan Johor yang hendak ke Istana Paga-ruyung yang melewati Batang Indragiri dan terus ke hulu Batang Kuantan dan berhenti di Silukah. Setelah beristirahat di Silukah, batu yang sebesar daun teratai itu tidak bisa terangkat. Karena tidak bisa terangkat maka batu itu ditinggalkan di sana dan rombongan pun melanjutkan perjalanan ke Istana Pagaruyung. 

 

     Adapun ketika masih di zaman Kerajaan Pagaru-yung, salah seorang utusan VOC, yang bernama Tho-mas Dias (bangsa Portugis), juga telah melakukan kunjungan ke Kerajaan Pagaruyung pada tahun 1684. Thomas Diaz berkunjung atas wakil VOC yang ber-kedudukan di Malaka yaitu Gubernur Malaka Cornelis Van Quaalbergen. Sepulang dari sana, Thomas Diaz mendapatkan hak dan izin berdagang di Siak oleh Raja Pagaruyung. Thomas dan rombongan menempuh per-jalanan pulang melalui Batang Kuantan dan setiba di Silukah atau Malako Kociak, maka Thomas dan rom-bongan pun terus ke Manganti, Sumpur Kudus, Ung-gan, Mandiangin, Air Tanang, Pangkalan Serai, Taru-san, Koto Batu, Mariring, Tanjung Balik, Pasa Ramoh, Ujung Bukit, Domo, Padang Sawah, Kuntu, Lipek Kain, Paku, Kalube, Nugam, Pima, Kotopahan, Sibe-limbing, Ridan, Air Tiris (Thendra, 2021).

 

     Adapun pada masa Paderi, Batang Kuantan telah menjadi jalur utama oleh keluarga Kerajaan Pagaru-yung untuk mengungsi. Keluarga kerajaan yang sela-mat seperti Sultan Arifin Muningsyah (1815) yang me-ngungsi setelah peristiwa Koto Tanggah yang mene-waskan banyak keluarga kerajaan (Raja Alam). Jalur pengungian itu melewati Lintau Buo (bersama Raja Adat atau Rajo di Buo) terus menyusuri Batang Sina-mar ke Kumanis, Sumpur Kudus. Di Sumpur Kudus pun keluarga Raja Ibadat atau Rajo di Sumpur tidak diganggu oleh paderi karena menurut pengikut paderi bahwa keluarga Rajo di Sumpur ini sudah menjalani syariat islam yang taat. 

 

     Dari Sumpur Kudus, keluarga Kerajaan Pagaru-yung dan keluarga Kerajaan di Buo menyusuri Batang Sumpur untuk sampai di Batang Kuantan. Dan lalu keluarga kerajaan itu tinggal di Lubuk Jambi, Kuantan Singingi, atau dibekas berdirinya Kerajaan Kandis di awal masehi itu di tepian Batang Kuantan. Sampai se-karang masih ada makam keluarga kerajaan yang me-ninggal di sana semasa paderi yaitu Sultan Perak di Muaro Lembu dan makam Rajo di Buo yang tak jauh dari air terjun (lebih kurang setinggi 9 kaki atau 2,7 meter) di Muko-muko karena ditolak memasuki wila-yah Minangkabau oleh Belanda sehingga Rajo di Buo meninggal di tepian Batang Kuantan itu dan di ma-kamkan di sana dan makamnya tidak banyak diketa-hui oleh siapapun (Muhammad Radjab, 1954).

 

     Setelah masa paderi, Batang Kuantan juga ikut men-jadi misteri bagi orang-orang kolonial itu. Semangat ilmiahnya untuk mencatat berbagai adat-istiadat di wilayah jajahannya, mencatat flora dan fauna, ataupun menemukan sumber-sumber mineral hasil bumi yang sangat kaya telah membuat mereka melakukan berba-gai ekspedisi penelitian jauh ke pedalaman. Salah satu peneliti itu kolonial itu adalah Ir. Willem Hendrik de Grave (insinyur kelas 1) yang berhasil menemukan de-posit batubara yang sangat besar di lembah Ombilin, Sawah Lunto, pada Februari 1869 (Yonni Saputra, 2012).

 

      Untuk membawa deposit batu bara yang sangat be-sar di Sawahlunto itu maka De Grave ditugaskan men-cari jalur transportasi baru untuk membawa batu bara ke pantai timur Sumatera. Terwujudnya jalur transpor-tasi bagian timur itu akan menghemat pengeluarkan pemerintah Hindia Belanda daripada melalui jalur pantai barat Sumatera yang harus memutar dulu di Samudera Hindia dalam menuju parairan Selat Malaka. 

 

     De Grave memilih ekspedisi jalur transportasi mem-bawa batu bara dari Sawahlunto melalui Batang Kuan-tan ke Selat Melaka di pantai timur. Ekspedisinya itu dimulai dengan menyusuri Batang Ombilin dari Sawahlunto pada tahun 1872. Dari Batang Omblin, De Grave memasuki Batang Kuantan di Muaro Sijunjung yang juga menjadi muara dari Batang Sukam dan Batang Palangki. Dari Muaro, De Grave memasuki Silokek, di sini arus sungainya penuh jeram dan deras. Di sini perahunya kandas dan dirinya tewas di arus Batang Kuantan sebelum sampai di Nagari Durian Ga-dang pada 2 Agustus 1872 dan dimakamkan di Koto Hilia, Nagari Durian Gadang. 

 

     Ekspedisi De Grave dilanjutkan oleh J. W. Ijzerman dua dekade setelahnya. Ijzerman berhasil membagi dua rombongan ekspedisi yaitu melalui darat dan melalui jalur Batang Kuantan. Ijzerman berhasil mele-wati kepekerjaan Batang Kuantan dalam arusnya di Silokek. Dari Silokek ia terus ke Durian Gadang dan sampai di Lubuk Ambacang yang menjadi batas untuk wilayah baru oleh raja di Taluak Kuantan. Namun di sini, di Taluk Kuantan ini, Ijzerman kehilangan foto-grafernya karena ditangkap oleh orang Taluak dan dibunuh pada tahun 1891.

 

     Selain pemerintah Kolonial Belanda, tentara Jepang juga menjadikan aliran sepanjang Batang Kuantan un-tuk membawa deposit batubara yang melimpah di Sawahlunto. Deposit batubara itu sangat penting bagi tentara Jepang sebagai modal utama dalam meng-hadapi perang dunia kedua melawan sekutu. Maka dari itu, tentara Jepang mendirikan jalur kereta api dari Sawahlunto ke Pekanbaru yang menyisiri Batang Kuantan untuk dibawa ke Singapura. 

 

     Jalur kereta api dari Muaro Kalaban sampai dengan Pekanbaru berjarak 246 km. Adapun jalur kereta api itu dari Muaro Kalaban – Padang Sibusuak – Muaro dikerjakan pada masa pemerintah Hindia Belanda. Sedangkan jalur dari Muaro hingga Pekanbaru diker-jakan pada masa penjajahan Jepang sejak bulan Sep-tember 1943. Rute dari Nagari Muaro itu melewati Ngalau Cigak di Nagari Silokek lalu ke Silukah di Nagari Durian Gadang. Dari sini terus ke Koto Kombu – Sungai Ala – Sungai Pinang – Serosa – Logas – Muara Lembu – Kebun Lado – Petai – Koto Baru Singingi Hilir – Sungai Paku – Tanjung Pauh – Kebun Durian – Lipat Kain – Pekanbaru. Salah satu bukti sejarah yang dapat kita saksikan atas kekejaman Je-pang yaitu dengan ditemukannya sebuah lokomotif uap di Jorong Silukah, Nagari Durian Gadang. Pemba-ngunan jalur kereta api dilakukan oleh ribuan ro-musha di zaman Jepang dan sebagian besar di antara mereka meninggal karena kekurangan makanan dan penyakit. Hanya sedikit yang masih hidup ketika rel kereta api itu selesai pada bulan Agustus 1945 (Gimin Saputra, 2014).

 

     Selain pada masa Jepang, Batang Kuantan ini juga berperan sebagai jalur transportasi pada masa Peme-rintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang be-rangkat dari Bidar Alam, Solok Selatan menuju Silan-tai, Sumpur Kudus, untuk melakukan musyawara besar antar semua pejabat PDRI di Sumatera Tengah. Rombongan PDRI yang dipimpin oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara itu menggunakan transportasi sungai di Batang Sangir hingga ke Sungai Batang Hari di Sungai Dareh. Dari sini diteruskan ke Kiliran Jao, Kamang, Meloro, dan lalu perjalanan sungai yaitu Sungai Batang, Pintu Batu, Padang Tarok, Tapui, Du-rian Gadang, Manganti, dan Calau Sumpur Kudus pada tanggal 20-25 April 1949. Semua rombongan dari berbagai daerah itu hadir Silantai pada 14—17 Mei 1949 (Umar Said Noor, 1999 dan Feni Efendi, 2019). 

 

Feni Efendi, penulis memori kolektif

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama